Fast Response

Whats'up 082242433432
Pin BB 56d4728f
Call 6282137593321
Line pusatdataid.com
YM jelly_jony
Home » » Sejarah Perkembangan Saham

Sejarah Perkembangan Saham



Ide dasar tentang saham adalah pembagian modal yang dibutuhkan untuk menjalankan sebuah usaha. Memulai sebuah usaha dari awal tidaklah mudah, ada resiko-resiko yang harus ditanggung oleh para pemilik modal dalam menjalankan usahanya. Dengan berbagi penyertaan modal, pada prinsipnya para pemilik modal juga berbagi resiko sehingga resiko yang ditanggung oleh masing-masing pemilik modal berkurang secara proporsional. Pemilik modal yang menyertakan modal lebih besar tentu menanggung resiko yang lebih besar, sebagai kompensasinya ia akan menerima keuntungan dengan proporsi lebih besar ketimbang pemilik modal lainnya. Agar penghitungan proporsi tersebut sah, dibuatlah lembaran dokumen persetujuan untuk menguatkan hak-hak para pemilik modal, yang sekarang dikenal sebagai lembaran saham.


Kaum Publican (± 3 SM): Aplikasi Bagi Hasil Pertama di Dunia


Ide tentang pembagian penyertaan modal dan pembagian keuntungan sudah dikenal sejak lama. Kita dapat menelusuri sejarah tentang saham hingga zaman Imperium Roma. Pada zaman tersebut, pemerintah Roma mengontrakkan layanan kepada sekelompok pengusaha swasta yang disebut kaum publican. Kaum Publican adalah kontraktor umum yang berperan sebagai penyedia jasa yang dibutuhkan oleh pemerintah, seperti mengurus persediaan dan logistik militer, mengelola pajak suatu wilayah atau pelabuhan, dan pengerjaan proyek pembangunan fasilitas umum.


Sistem yang berlaku dalam penentuan proyek kepada Kaum Pulican adalah sistem tender, dimana Kaum Publican memberikan penawaran harga kepada pemerintah. Sebagai contoh adalah pengelolaan pajak. Wilayah Imperium Roma terbentang luas dari Eropa, Timur Tengah dan Afrika Utara. Pada saat itu pemerintah terfokus pada ekstensi wilayah jajahan dan penguatan militer, namun kekurangan sumber daya manusia untuk mengumpulkan pajak di wilayah yang luas tersebut, oleh karena itu pengumpulan pajak diserahkan kepada pihak swasta. Setiap beberapa tahun pemerintah melakukan lelang untuk pengumpulan pajak di daerah jajahannya dalam tenggang waktu yang telah ditentukan, pemenang dari lelang adalah orang yang dapat memberikan penawaran tertinggi pajak yang dapat dikumpulkan dari daerah tersebut. Pembayaran pajak kepada pemerintah dilakukan pada akhir tenggang waktu yang ditentukan, dengan nominal yang diajukan pada saat penawaran. Kaum publican yang melakukan pengumpulan pajak akan mendapatkan komisi dari pajak tersebut. Selain itu setiap kelebihan yang diperoleh dari pengumpulan pajak akan dihitung sebagai keuntungan, sebaliknya jika pengumpulan pajak ternyata lebih kecil daripada jumlah yang harus dibayarkan mereka harus menutupi kekurangan tersebut.


Sistem tersebut jelas memberikan resiko yang besar kepada kaum publican. Oleh karena itu Kaum Publican didominasi oleh kaum kapitalis yang memiliki modal. Selain itu, mereka sering membentuk kerjasama dalam melakukan pengumpulan pajak sehingga resiko yang ditanggung oleh masing-masing orang menjadi lebih kecil. Perjanjian kerjasama ini disebut "socii" untuk kerjasama yang melibatkan banyak pihak, dan "particulae" untuk kerjasama yang melibatkan sedikit pihak. Peran Kaum Publican berangsur-angsur berkurang setelah Imperium Roma berhenti melakukan ekspansi dan membenahi sistem birokrasi dalam pemerintahannya.


Stora Kopparberg (850-an s.d. sekarang): Dokumen Saham Pertama di Dunia


Eksploitasi tembaga di Falun, Swedia dilakukan sejak tahun 850-an oleh dan tambang tembaga mulai beroperasi sejak 1080 yang dikelola oleh penduduk lokal. Dokumen tertulis pertama yang menjelaskan tentang tambang tersebut dikenal sebagai Deed of Exchange tertanggal 16 Juni 1288. Dokumen ini disahkan oleh Raja Swedia, Magnus Biggerson. Uskup Kepala Uppsala dan tiga uskup lainnya. Dalam dokumen ini dijelaskan pembagian seperdelapan hasil dari tambang kepada Peter, seorang Uskup dari Västerås. Pada saat itu pengelolaan dan administrasi tambang bukan lagi dilakukan secara parsial oleh penduduk lokal, namun dilakukan oleh sebuah organisasi yang terorganisir dengan baik. Organisasi tersebut kebanyakan terdiri dari para Bangsawan Swedia dan pedagang-pedagang dari luar negeri, terutama pedagang-pedagang dari Lübeck, Jerman Utara yang banyak berinvestasi dalam pendirian tambang-tambang tersebut.


Dokumen lain yang dapat menggambarkan kondisi pada waktu itu adalah Charter of Privileges yang dikeluarkan oleh Raja Magnus Eriksson pada tahun 1347 yang mengatur perihal operasi tambang di Falun. Raja Magnus Eriksson membentuk organisasi pekerja tambang yang dikenal sebagai "Bergsmännen" yang artinya manusia gunung. Raja kemudian menunjuk empatbelas orang dari para pekerja tersebut untuk duduk dalam Dewan Tambang dan dua diantaranya ditunjuk menjadi Menteri Urusan Tambang. Tugas dari Menteri Urusan Tambang dan Dewan Tambang adalah untuk memastikan bahwa tambang tetap beroperasi sesuai dengan undang-undang.


Swedia menjadi negara superpower pada abad ke-17. Ekonomi Swedia digerakkan oleh tiga komoditi: tembaga, besi, dan tar, namun tembaga merupakan faktor yang paling berpengaruh. Sebagian besar hasil tambang tembaga diekspor ke luar negeri, tembaga Swedia bahkan memainkan peranan penting di pasar Eropa pada waktu itu. Saham perusahaan-perusahaan tambang di Swedia menjadi incaran para kaum kapitalis. Tahun 1616, Raja Gustav II Adolf mengeluarkan undang-undang yang membatasi jumlah saham yang beredar menjadi 1200 lembar dan jumlah kepemilikan saham menjadi 75 orang. Pada tahun 1619, perusahaan tambang pertama didirikan oleh pihak swasta, namun pihak kerajaan tetap memainkan peranan penting walaupun kepemilikannya dalam perusahaan tambang telah berkurang. Pada abad ke-18, pamor tembaga mulai meredup. Perusahaan-perusahaan tambang tembaga mulai beralih pada pengeksplorasian bijih besi dan mengakuisisi perusahaan-perusahaan tambang dan pengolahan besi.


Tahun 1862, seluruh perusahaan tambang dan tambang-tambang kecil yang dikelola oleh individu bergabung membentuk sebuah perusahaan swasta, Stora Kopparbergs Bergslag. Hal tersebut juga menandai akhir pengaruh pihak kerajaan dalam perusahaan tambang dan pembubaran Kementrian Pertambangan. Pada tahun 1888, Stora Kopparberg menjadi Aktiebolag (Perusahaan Terbatas milik publik), tiap lembaran saham yang seluruh berjumlah 1200 lembar dikonversikan menjadi masing masing menjadi 8 lembar saham senilai 1000 crown Swedia. Hal tersebut membuat nilai perusahaan menjadi 9,6 juta crown Swedia.


Sejarah mengenai Stora Kopparberg adalah sejarah mengenai akuisisi dan alih teknologi. Dalam pengelolaan tambang, perusahaan menyisakan tumpukan kayu hasil pembukaan lahan untuk pertambangan. Untuk mengoptimalkan kayu tersebut, Stora Kopparberg mengakuisisi sebuah usaha penggergajian kayu di Skutskär pada tahun 1885. Pada tahun 1888, perusahaan membangun pembangkit listrik di Kvarnsveden falls untuk menyuplai kebutuhan listrik pengolahan baja di Domnarvet, dan pengolahan kertas yang dibangun belakangan pada tahun 1900. Untuk menambah produksi bijih besinya, Stora Kopparberg mengakuisisi Gysinge Bruks Aktiebolag (1905), Söderfors Bruk Aktiebolag (1907), Gammelstilla, Strömsbergs, Västlands, Hillebola, dan Ullfors (1910-1920).


Pengakuisisian tambang-tambang dan pengolahan-pengolahan bijih besi tersebut juga meningkatkan suplai bahan baku untuk penggergajian kayu dan pengolahan kertas yang dimiliki oleh perusahaan. Pada tahun 1956 produksi tambang besi mencapai 400 ribu ton per tahun, dan produksi hasil hutan mencapai 175 ribu ton per tahun. Stora Kopparbergs terus mengembangkan sayapnya dengan membangun pabrik-pabrik di luar negeri. Pada tahun 1984. Stora Kopparbergs membangun Newton Falls Paper Mill di New York, Amerika, pada tahun yang sama juga perusahaan mengadopsi nama STORA sebagai identitas perusahaan.


Sementara produksi tambang mulai menurun, STORA tetap melakukan merger dengan perusahaan-perusahaan besar penghasil produk-produk hasil hutan di Eropa. Hingga pada awal tahun 1990-an, Manajemen STORA memutuskan untuk berfokus kepada pengolahan produk-produk kehutanan dan mendivestasikan perusahaan-perusahaan yang tidak terkait dengan produk intinya. Pada tahun 1998 STORA melakukan merger dengan perusahaan pengolah hasil hutan dari Finlandia, Enso Oyj, dan berubah nama menjadi Stora-Enso Oyj. Berpusat di Helsinski, dengan jumlah pegawai lebih dari 46.000 orang, Stora-Enso Oyj sekarang ini menjadi perusahaan pulp dan kertas terbesar di dunia dalam konteks kapasitas produksi, kelima terbesar di dunia dalam konteks pendapatan, sekaligus sebagai perusahaan terbuka tertua di dunia yang masih beroperasi hingga sekarang.


Vereinigte Ostindische Compagnie (VOC) - (1602-1799): Pasar Modal Pertama di Dunia


Sejak Vasco Da Gama mempelopori rute perdagangan dari Eropa ke India pada akhir abad ke-15, hubungan perdagangan antar bangsa-bangsa di Eropa dengan bangsa-bangsa di Asia semakin erat. Spanyol dan Portugis yang pertama kali melakukan perdagangan antar bangsa tersebut tampil sebagai penguasa rute perdagangan, sekaligus sebagai penguasa tanah jajahan di Asia dengan semboyan Gold, Glory, dan Gospel. Rempah-rempah yang berasal dari Asia, terutama lada, menjadi komoditi utama perdagangan pada saat itu. Para pedagang melakukan perdagangan kontrak berjangka kepada para retailer yang kemudian mendistribusikannya ke negara-negara Eropa lainnya.


Dengan sistem kontrak berjangka tersebut membuat para retailer harus menanggung resiko atas pengiriman dari Asia ke Eropa, seringkali kualitas dan kuantitas yang diterima oleh para retailer tidak sesuai dengan kontrak yang telah disepakati di awal. Pada akhir abad ke-16, para pedagang dari Belanda, sebagai retailer terbesar rempah-rempah pada saat itu, memutuskan untuk mengambil alih perdagangan rempah-rempah yang dikuasai oleh Portugis dan Spanyol. Mereka kemudian bergabung membentuk Brabantse Compagnie, Rotterdamse Compagnie, dan Compagnie van Verre. Akibat dari keputusan tersebut, persaingan antara para pedagang-pedagang di Eropa menjadi semakin ketat. Ketika persaingan antar pedagang memanas, pihak pemerintah turut campur dengan mempersenjatai armada-armada yang dikirimkan dalam misi dagang, akibatnya perang antar negara-negara di Eropa tidak terelakkan lagi. Hasilnya harga rempah-rempah menjadi jatuh.


Penurunan harga rempah-rempah dan ketidakamanan dalam perdagangan memaksa para pengusaha Belanda untuk bekerjasama dan bergabung menjadi sebuah perusahaan. Pada tanggal 20 Maret 1602, atas saran Gubernur Jendral Prinz Johann Moritz von Nassau (1606 - 1679), tiga perusahaan besar di Belanda bergabung membentuk sebuah perusahaan berskala nasional yang dikenal sebagai "Vereinigte Ostindische Compagnie" (VOC). Pada mulanya VOC membuka enam kantor cabang: Amsterdam sebagai kantor pusat perdagangan, Seeland, Delft, Rotterdam, Hoorn dan Enkhuizen. Setiap cabang menunjuk calon Direksi hingga berjumlah 75 orang sebagai perwakilan, dari ke-75 calon ini dipilih 17 orang yang menjadi Direktur Eksekutif perusahaan.


Modal awal yang disertakan dalam pembentukan perusahaan tersebut adalah sebesar 6.424.588 Guilders, jumlah yang besar pada saat itu. Kunci sukses VOC dalam penggalangan modal adalah keputusan yang diambil oleh para pemilik untuk membuka akses kepemilikan saham kepada publik. Lembaran-lembaran saham tesebut terjual dengan cepat dengan harga nominal 3000 Guilders, dan dapat diperjualbelikan. Harga nominal tersebut tidak ditentukan oleh pemerintah, namun oleh perusahaan independen yang berperan sebagai reseller dalam memperjualbelikan saham tersebut. Penjualan dan pembelian sertifikat saham VOC dikelola oleh dua direktur, yang berpusat di Amsterdam. Oleh karena itu Amsterdam Kontor yang merupakan kantor pusat VOC dikenal sebagai Pasar Modal pertama di Dunia. Selain itu, VOC juga menerbitkan sertifikat obligasi dengan jangka waktu 3 sampai dengan 12 bulan untuk menutupi kebutuhan operasinya.


Kerajaan Belanda memberikan keistimewaan hak-hak kepada VOC dalam melakukan operasinya, seperti: Hak eksklusif untuk berdagang di Tanjung Harapan, hak untuk bernegosiasi tanpa mediasi pemerintah pusat, hak untuk mengeluarkan kontrak dan beraliansi, hak untuk mencetak koin dan mata uang sendiri, serta hak untuk membangun benteng-benteng, menunjuk gubernur, dan membentuk pasukan tentara di daerah jajahan Belanda. Dengan pemberian hak-hak istimewa tersebut, VOC menjadi sebuah "negara dalam negara" dan memiliki kekuatan ekonomi dan politik yang sangat besar. Daerah kekuasaannya meliputi Pulau Jawa, Kepulauan Maluku, Kepulauan Banda, Ternate, Makasar, Ceylon, dan Tanjung Harapan.


Perusahaan tersebut terus berkembang walaupun terjadi beberapa kerugian-kerugian kecil yang dikibatkan oleh pembajakan di Laut Cina Selatan, cuaca buruk, persaingan dengan pedagang Eropa lainnya, pencurian, dan wabah penyakit yang menyerang awak armada dagangnya. Sampai pertengahan abad ke-18, VOC berhasil menjadi perusahaan monopoli terbesar pada waktu itu. Selama beroperasi, VOC memiliki 150 armada dagang, 40 kapal perang, 20.000 pelaut, 10.000 tentara, dan lebih dari 50.000 penduduk sipil yang dipaksa untuk bekerja pada perusahaan. Perkembangan tersebut juga mendorong pertumbuhan harga saham perusahaan. Pada awal mula perdagangannya, saham VOC telah meningkat 10-15% diatas nilai nominalnya; pada tahun 1622 harganya meningkat 3 kali lipat; dan pada tahun 1721 meningkat hingga 12 kali lipat.


Kerugian paling besar disebabkan oleh inefisiensi dan korupsi yang menjalari tubuh perusahaan. Karena mis-manajemen, VOC terpaksa ditutup dan dinyatakan bangkrut pada tanggal 31 Desember 1799. Pada saat itu nilai sahamnya hanya sebesar 25% dari nilai nominalnya. Pada akhir hayatnya, VOC meninggalkan hutang hingga 110 juta Guilders yang dibebankan kepada pemerintah Belanda. Oleh karena itu, saat ini istilah VOC lebih dikenal sebagai kepanjangan dari Vergann Onder Corruptie yang artinya "hancur karena korupsi".


Pasar Modal di Amerika: Pertumbuhan, Resesi, dan Alih Teknologi


Kebanyakan perdagangan saham dan sekuritas didominasi oleh perusahaan armada perdagangan dan perdagangan rempah-rempah pada masa-masa awal berdirinya pasar modal. Seperti yang telah disebutkan Belanda merupakan tempat berdirinya Pasar Modal pertama di dunia, lalu diikuti oleh Portugis, Spanyol, Perancis, dan Inggris. Dengan masuknya bangsa Inggris, yang memiliki armada perang terkuat di dunia pada saat itu - the British Royal Navy - dalam percaturan perdagangan rempah-rempah dunia, maka lalu lintas perdagangan mulai beralih ke Inggris.


Pasar Modal London memulai debutnya dari pasar terbuka (outdoor market) di jalan Exchange Alley. Di jalan tersebut para broker melakukan transaksi jual beli saham-saham perusahaan-perusahaan perkapalan dan perdagangan Inggris. Pada tahun 1725, transaksi mulai beralih dari jalanan ke kedai kopi Jonathon's Coffee House, perdagangan saham pada saat itu masih bersifat non-formal, baru setelah sistem perdagangan dibakukan pada tahun 1773, administrasi perdagangan saham menjadi lebih tertata dan namanya berubah menjadi The Stock Exchange.


Sistem perdagangan saham dikenalkan di Amerika oleh pendatang-pendatang dari Inggris di wiayah koloninya. Pada mulanya perdagangan saham pada koloni Inggris masih terpusat di London. Namun setelah Revolusi Amerika, dan kelahiran United States of America, semua hubungan diplomatik maupun perdagangan antar Amerika dan Inggris terputus, termasuk semua yang terkait dengan pasar finansial Inggris. Alexander Hamilton, Sekretaris Bendahara (Secretary of the Treasury) pertama Amerika melihat urgensi pendirian pasar modal yang independen di Amerika. Berdasarkan pengalamannya mempelajari pasar modal di Inggris, Hamilton percaya bahwa pasar modal merupakan hal yang esensial dalam membangun dan menjaga kestabilan ekonomi sebuah negara. Selama periode jabatannya, 1789 sampai dengan 1795, ia dedikasikan untuk mempromosikan pembangunan Pasar Modal di Amerika


Atas prakarsa Alexander Hamilton, saham-saham tiga bank besar di Amerika mulai diperjualbelikan, walaupun pada saat itu pasar modal belum lagi terbentuk. Saham-saham tersebut adalah saham the Bank of North America (1781), Bank of New York (1784), dan the First Bank of the United States (1791). Saham-saham ini diterbitkan untuk membayar hutang perang revolusi yang ditanggung oleh the Continental Congress.


Seperti halnya pendahulunya di Inggris, pasar modal di Amerika dimulai di luar ruangan. Pada tahun 1792, John Sutton, Benjamin Jay, dan 22 pemimpin finansial menandatangani kesepakatan pembetukan pasar modal di Amerika. Kesepakatan tersebut ditandatangani di bawah pohon buttonwood di Castle Garden (sekarang Battery Park) dan berisi tentang aturan main, regulasi, serta biaya yang akan dibebankan dalam setiap transaksi. Mereka menamakan organisasi ini The Stock Exchange Office. Organisasi ini bersifat eksklusif, hanya orang-orang tertentu yang menonjol dalam komunitas finansial yang diperkenankan untuk bergabung, dan wanita merupakan kaum yang termarginalkan dalam organisasi ini.


Perdagangan saham di Amerika kemudian berkembang dengan pesat, sehingga pasar modal yang menjadi pusat transaksi menjadi penuh sesak. Pada tahun 1817, para broker saham di New York membentuk the New York Stock & Exchange Board dan meindahkan tempat transaksi ke gedung No.40 di Jalan Wallsteet. Pada tahun 1863, nama organisasi tersebut berubah menjadi the New York Stock Exchange (NYSE) dan berpindah lagi di pusat transaksinya ke gedung di persimpangan Jalan Wallstreet dan Broad Street, hingga hari ini NYSE tetap beroperasi dilokasi tersebut.


Meningkatnya perdagangan saham terjadi seiring dengan berkembangnya ekonomi Amerika dan bertambahnya jumlah perusahaan di Amerika. Pada tahun 1800, Amerika hanya memiliki 295 korporasi besar, diman 20 diantaranya diperdagangkan sahamnya di pasar modal. Pada tahun 1835, perusahaan yang terdaftar di NYSE berkembang menjadi 121 perusahaan, kebanyakan diantaranya adalah perusahaan kereta api yang berkembang pesat pada era tersebut. Pada tahun 1869, jumlah perusahaan yang terdaftar di NYSE bertambah menjadi 145 perusahaan, jenis industrinya pun bermacam-macam, mulai dari perusahaan asuransi, baja, perlengkapan pertanian, perkebunan tembakau, dan perusahaan manufaktur lainnya.


NYSE mengadopsi skala Dow Jones Industrial Average (DJIA), atau lebih dikenal dengan Indeks Dow Jones. Nama tersebut diambil dari gabungan Charles Dow dan Edward Jones, dua reporter yang kemudian mendirikan perusahaan penerbitan Dow Jones & Company pada tahun 1882. Perusahaan tersebut menerbitkan surat kabar The Wallstreet Journal yang berfokus kepada isu-isu finansial dan mengamati dengan seksama pergerakan harga saham yang diperdagangkan di NYSE. Wallstreet Journal kemudian membentuk sebuah indeks yang terdiri atas 11 perusahaan kereta api, dan pada tahun 1896 diperluas menjadi rata-rata industri yang kemudian diadopsi oleh NYSE sebagai indeks rata-rata saham-saham papan atas.


NYSE bukanlah satu-satunya pasar modal di kota New York. Pada awal pengembangannya, aturan mengenai pendaftaran perusahaan pada NYSE sangat ketat, setiap perusahaan dikenai ongkos sebesar $25 agar bisa terdaftar di NYSE. Banyak pemilik perusahaan menengah yang hendak mengembangkan usahanya dengan menjual sebagian kepemilikan sahamnya kepada publik terbentur dengan aturan yang berlaku. Pada tahun 1842, sebagian broker mencoba memfasilitasi pasar perusahaan menengah tersebut dengan membentuk the New York Curb Exchange, yang kemudian berubah menjadi American Exchange (AMEX), namun hingga kini julukan Curb Market tetap melekat kepada AMEX. Perdagangan saham di Curb Market pada mulanya dilakukan di halaman gedung tempat NYSE berada. Hal tersebut tetap berlangsung hingga akhirnya AMEX menempati gedung baru di Trinity Place, New York pada tahun 1921.


Tahun 1920-an merupakan tahun tahun keemasan teknologi bagi sejarah Amerika, yang kemudian dikenal sebagai Roaring Twenties. Berbagai inovasi seperti radio, otomotif, penerbangan, telefon, dan pembangkit listrik mulai dikembangkan dan diterapkan secara luas di Amerika. Perusahaan-perusahaan teknologi seperti Radio Corporation of America (RCA) dan General Motors menjadi pionir dalam pasar finansial Amerika, tidak ketinggalan perusahaan finansial yang menangani transaksi perdagangan dan investasi seperti the Goldman Sachs Trading Corporation turut menjadi motor penggerak perekonomian di Amerika.


Bank-bank di Amerika mencoba memanfaatkan hal tersebut dengan memberikan kredit sebanyak-banyaknya kepada perusahaan-perusahaan tanpa melakukan analisis terhadap kelayakan usaha. Struktur hutang yang timpang menggandakan resiko kebangkrutan perusahaan, namun hal tersebut tersamarkan dengan pertumbuhan ekonomi Amerika yang pesat. Pada tahun 1929, Adolf Miller, Presiden the Federal Reserve Board, mengeluarkan kebijakan uang ketat dan menaikkan suku bunga pinjaman secara agresif. Akibatnya banyak perusahaan yang memiliki struktur hutang yang buruk menjadi kesulitan dalam membayarkan kewajiban hutangnya. Hal tersebut diperparah dengan aksi profit taking yang dilakukan oleh para investor di sektor finansial. Berbagai pencetus tersebut kemudian menyebabkan krisis ekonomi terburuk yang pernah dialami oleh Amerika dan mengakibatkan depresi ekonomi yang berkepanjangan.


Hari Selasa, tanggal 29 Oktober 1929, tercatat sebagai hari terburuk dalam sejarah finansial bangsa Amerika, yang kemudian dikenal sebagai Black Tuesday. Krisis dimulai pada hari sebelumnya tanggal 28 Oktober, terjadi aksi profit taking besar-besaran yang menyebabkan Indeks Dow Jones turun menjadi 12.8%. Transaksi yang terlalu besar menyebabkan sistem pita penghitung (the ticker tape system) menjadi kelebihan beban dan rusak, padahal peranan pita penghitung tersebut amat vital sebab menjadi satu-satunya sumber informasi investor tentang harga saham terkini. Investor pun mencoba mencari informasi melalui telefon dan telegraf yang menyebabkan kelebihan kapasitas dari kedua jaringan tersebut. Praktis pada hari itu terjadi kebuntuan informasi yang membawa investor dalam kondisi kegamangan.


Keesokan harinya terjadi kekacauan di lantai bursa. Investor yang tidak mengetahui perkembangan informasi tentang pasar finansial, dan terdorong oleh resiko yang semakin besar akibat berlakunya sistem margin trading, berbondong-bondong menjual saham-saham yang mereka miliki. Dalam dua jam, nilai saham-saham papan atas turun hingga lebih dari separuhnya, dan dalam dua minggu Indeks Dow Jones turun hingga 40%. Amerika Serikat baru bisa keluar sepenuhnya dari krisis pada tahun 1932 setelah kehilangan sekitar 89% nilai saham-saham perusahaan publik dari puncak keemasannya.


Dalam rangka mengembalikan kepercayaan investor pada pasar modal, Kongres Senat Amerika Serikat mengeluarkan the Securities Act pada tahun 1933, yang mengatur perihal operasional dan sistem yang berlaku pada pasar modal. Dan pada tahun 1934, dibentuk Securities and Exchange Commission (SEC) yang berfungsi untuk mengawasi pelaksanaan undang-undang tersebut. SEC terdiri dari lima orang komisioner yang ditunjuk oleh Presiden Amerika Serikat dan disahkan oleh senat, Joseph P. Kennedy ditunjuk menjadi ketua komisi pertama SEC masa bakti 1934-1935. Guna melindungi investor dari aksi kejahatan finansial, SEC mewajibkan setiap perusahaan yang terdaftar dalam bursa efek untuk melaporkan keuangan perusahaan yang telah diaudit, serta mengawasi setiap peralihan kepemilikan perusahaan-perusahaan di Amerika Serikat.


Tahun 1971 menandai babakan baru dalam sejarah pasar modal. National Association of Securities Dealers (NASD) memperkenalkan National Association of Securities Dealers Automated Quotation (NASDAQ) yang sepenuhnya menerapkan prinsip pasar modal elektronis untuk pertama kalinya. Semua data kepemilikan saham dan transaksi keuangan dikonversikan menjadi data-data elektronik yang disimpan dalam satu mainframe computer. Perdagangan saham tidak lagi dipusatkan dalam satu tempat, namun dapat dilakukan dari mana saja asalkan terhubung dengan sistem NASDAQ, suatu konsep yang istimewa mengingat pada saat itu koneksi internet belum lagi ada dan teknologi tidak secanggih sekarang. Sistem yang demikian dikenal dengan istilah over-the-counter (OTC). Saham-saham yang diperdagangkan oleh NASDAQ kebanyakan berupa saham-saham perusahaan teknologi seperti IBM, Microsoft, Intel, Cisco, dan lain sebagainya, oleh karena itu Indeks yang dipakai oleh NASDAQ sebagai patokan pergerakan saham-saham yang tergabung di dalamnya dikenal sebagai Indeks Teknologi NASDAQ. Saat ini NASDAQ bahkan telah mensponsori global stock market dengan membuka cabang di berbagai daerah di luar negeri, diantaranya Kanada dan Jepang, serta berasosiasi dengan pasar modal Hongkong dan Eropa.


SAHAM DAN KESEJAHTERAAN KARYAWAN


Sistem bagi hasil sebagai bentuk kompensasi kepada karyawan telah berlangsung sejak lama. Pada zaman feudalisme, para tuan tanah menyadari bahwa memperkerjakan budak untuk mengurus ladang dan perkebunan tidak ekonomis. Mereka tetap mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk memelihara dan memberi makan budak-budak tersebut, namun disisi lain para budak tidak pernah menunjukkan antusiasme mereka dalam melakukan pekerjaan, sehingga produktivitas mereka rendah. Sistem perbudakan lalu dihapuskan, para tuan tanah lalu memperkerjakan buruh tani dan buruh ladang yang diupah dengan menggunakan sistem bagi hasil. Namun sistem ini dirasakan tetap tidak manusiawi karena proporsi yang didapatkan oleh para buruh tani tidak sebanding dengan proporsi yang diterima para tuan tanah tersebut, selain itu jumlah penghasilan yang diterima oleh para buruh tani tidak menentu sehingga menimbulkan ketidakpastian untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Pada zaman merkantilisme, sistem bagi hasil diganti menjadi sistem upah tetap (fix income) yang regulasinya diatur oleh pemerintah.


Walaupun sistem bagi hasil dianggap usang dan tidak manusiawi, tidak berarti sistem tersebut hilang begitu saja. Hingga zaman Revolusi Industri sistem ini masih diterapkan oleh perusahaan-perusahaan kecil dan perusahaan-perusahaan keluarga, tentu saja dengan proporsi yang lebih adil. A. R. J. Turgot, seorang ahli ekonomi berkebangsaan Perancis, adalah salah seorang yang melihat keuntungan dari sistem bagi hasil ini. Pada tahun 1775 beliau menerapkan sistem bagi hasil dengan struktur proporsi yang lebih baik di perusahaan pengecatan rumah Maison Leclaire. Sistem bagi hasil yang diterapkan pada perusahaan tersebut berbentuk tunai yang langsung dibayarkan kepada para pekerjanya. Perusahaan yang pertama kali memberlakukan sistem bagi hasil di Amerika Serikat adalah New Geneva, PA - sebuah perusahaan yang memproduksi barang pecah belah - yang dipimpin oleh Albert Gallatin pada tahun 1794. Sistem ini bejalan efektif dan terbukti mampu meningkatkan kinerja para pekerja perusahaan tersebut, namun belum banyak perusahaan yang terorganisir menerapkan sistem bagi hasil tersebut.


Ide tentang penerapan sistem bagi hasil kemudian digagas lagi oleh Chaler Babbage (1792-1871) melalui bukunya On the Economy of Machinery and Manufactures yang diterbitkan pada tahun 1832. Dalam buku tersebut Babbage menyatakan bahwa pekerja dan pemilik perusahaan harus memperoleh keuntungan mutual, oleh karena itu para pekerja harus menikmati sebagian keuntungan dari perusahaan melalui pemberian bonus kerja selain gaji yang telah mereka terima. Babbage mengklaim bahwa dengan menerapkan sistem tersebut baik pekerja maupun pemilik perusahaan akan memperoleh keuntungan karena setiap pekerja akan mempunyai rasa memiliki terhadap perusahaan, dan oleh karena itu mereka akan bekerja lebih baik dan mencegah setiap tindakan yang akan merugikan perusahaan agar bonus yang mereka terima meningkat. Selain itu tidak akan ada lagi konflik kepentingan antara pihak manajemen dan pekerja karena semuanya memiliki kepentingan yang sama.


Gagasan Babbage diterima oleh banyak pihak dan bahkan dikembangkan sehingga memiliki banyak variasi sistem insentif. Henry R. Towne menyarankan untuk memberikan insentif dengan sistem bagi hasil yang dibagikan secara proporsional per departemen, sementara Frederick A. Hasley lebih memilih untuk dibagikan secara proporsional menurut kinerja seseorang. Banyak perusahaan besar mulai menerapkan sistem bagi hasil melalui pemberian bonus kepada karyawannya, setidaknya terdapat 30 perusahaan besar yang menerapkan sistem ini termasuk John Wannamaker Dry Goods, Pillsbury Flour, Yale and Towne, Proctor and Gamble (1887), Sears (1916), Kodak, dan Johnson's Wax (1917).


Pada saat pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat menggeliat pada tahun 1920-an, banyak pengusaha mengalihkan sistem insentif yang diberikan kepada karyawannya, dari berbentuk bagi hasil tunai menjadi sistem kepemilikan saham perusahaan melalui program employee stock ownership plans (ESOPs). Dengan memiliki sebagian saham perusahaan, para pekerja memperoleh tambahan penghasilan melalui dividen yang dibagikan setiap tahun, bahkan setelah mereka tidak lagi bekerja di perusahaan tersebut. Selain itu mereka juga dapat menjual saham yang mereka miliki di pasar modal. Sistem ESOP ini juga disukai oleh para pemilik perusahaan karena, walaupun proporsi kepemilikan mereka berkurang, dengan menerapkan sistem ESOP perusahaan mendapatkan berbagai potongan dan keringanan pajak.


Namun peristiwa Black Tuesday yang diikuti depresi yang berkepanjangan membuat sistem ESOP ini gagal. Memiliki saham pada saat itu bagaikan memakan buah simalakama, banyak pemilik saham yang menyesal karena saham yang mereka miliki tidak lagi berharga, sementara bagi pemilik saham yang telah menjual saham mereka sebelum Black Tuesday juga tetap tidak merasakan manfaat dari hasil penjualan tersebut karena tergerus inflasi yang sangat tinggi dan sebagian hilang bersama bank-bank yang dilikuidasi. Akibatnya ESOP tidak lagi diminati, hasil survey pada tahun 1934 yang diselenggarakan oleh the National Industrial Conference Board menyebutkan bahwa 42 % perusahaan telah berhenti menggunakan sistem ESOP, pada tahun 1937 meningkat menjadi 69%, dan pada tahun 1939 hanya tersisa 37 perusahaan yang masih menerapkan sistem ESOP. Sistem ESOP kembali digunakan oleh perusahaan setelah ekonomi Amerika Serikat mulai pulih pada tahun 1940-an, dan menjadi trend pada tahun 1950-an.


Pada tahun 1974 Kongres Amerika Serikat meloloskan Employee Retirement Income Security Act (ERISA) yang mengatur tentang standar minimum untuk program pensiun bagi perusahaan swasta dan pengurangan pajak terkait dengan penerapan program kesejahteraan karyawan. ERISA-lah yang kemudian mendasari dikeluarkannya Internal Revenue Code (IRC) pada tahun 1978 yang merupakan prosedur standar sistem penetapan pajak oleh Internal Revenue Service (IRS). Pasal 401(k) adalah salah satu pasal dalam IRC yang terkenal, pasal tersebut mengatur tentang penyelenggaraan program pensiun yang layak bagi karyawan melalui sistem bagi hasil dan bonus saham. Dengan adanya insentif pajak tersebut, banyak perusahaan yang tertarik menerapkan program 401(k) dengan mengikutsertakan karyawannya dalam reksadana. Huges Air Craft Company adalah perusahaan pertama yang menerapkan program 401(k) pada tahun 1978, diikuti oleh Johnson & Johnson, FMC, PepsiCo, JC Penney, Honeywell, Savannah Foods & Industries, dan Coates, Herfurth, & England.


Dengan mengaplikasikan sistem bagi hasil, baik secara tunai maupun berbentuk bonus saham, perusahaan-perusahaan di Amerika Serikat menunjukkan kepeduliannya terhadap kesejahteraan karyawannya. Hingga saat ini, program ESOP maupun 401(k) masih tetap banyak digunakan perusahaan-perusahaan di Amerika. Tercatat lebih dari 12 juta karyawan ikut serta dalam program ESOP pada tahun 2005 dan sekitar 42,4 juta karyawan disertakan dalam program 401(k) pada akhir tahun 2003, beberapa bahkan mendiversifikasikan beberapa program melalui reksadana baik atas inisiatif pribadi maupun secara kolektif oleh perusahaan.






Perkembangan pasar modal di Indonesia


Di Indonesia melalui web Bursa Efek Indonesia dipaparkan sebagai berikut.


Secara historis, pasar modal telah hadir jauh sebelum Indonesia merdeka. Pasar modal atau bursa efek telah hadir sejak jaman kolonial Belanda dan tepatnya pada tahun 1912 di Batavia. Pasar modal ketika itu didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda untuk kepentingan pemerintah kolonial atau VOC.


Meskipun pasar modal telah ada sejak tahun 1912, perkembangan dan pertumbuhan pasar modal tidak berjalan seperti yang diharapkan, bahkan pada beberapa periode kegiatan pasar modal mengalami kevakuman. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor seperti perang dunia ke I dan II, perpindahan kekuasaan dari pemerintah kolonial kepada pemerintah Republik Indonesia, dan berbagai kondisi yang menyebabkan operasi bursa efek tidak dapat berjalan sebagimana mestinya.


Pemerintah Republik Indonesia mengaktifkan kembali pasar modal pada tahun 1977, dan beberapa tahun kemudian pasar modal mengalami pertumbuhan seiring dengan berbagai insentif dan regulasi yang dikeluarkan pemerintah.


Secara singkat, tonggak perkembangan pasar modal di Indonesia dapat dilihat sebagai berikut:
14 Desember 1912 : Bursa Efek pertama di Indonesia dibentuk di Batavia oleh Pemerintah Hindia Belanda.
1914 - 1918 : Bursa Efek di Batavia ditutup selama Perang Dunia I
1925 - 1942 : Bursa Efek di Jakarta dibuka kembali bersama dengan Bursa Efek di Semarang dan Surabaya
Awal tahun 1939 : Karena isu politik (Perang Dunia II) Bursa Efek di Semarang dan Surabaya ditutup.
1942 - 1952 : Bursa Efek di Jakarta ditutup kembali selama Perang Dunia II
1952 : Bursa Efek di Jakarta diaktifkan kembali dengan UU Darurat Pasar Modal 1952, yang dikeluarkan oleh Menteri kehakiman (Lukman Wiradinata) dan Menteri keuangan (Prof.DR. Sumitro Djojohadikusumo). Instrumen yang diperdagangkan: Obligasi Pemerintah RI (1950)
1956 : Program nasionalisasi perusahaan Belanda. Bursa Efek semakin tidak aktif.
1956 - 1977 : Perdagangan di Bursa Efek vakum.
10 Agustus 1977 : Bursa Efek diresmikan kembali oleh Presiden Soeharto. BEJ dijalankan dibawah BAPEPAM (Badan Pelaksana Pasar Modal). Tanggal 10 Agustus diperingati sebagai HUT Pasar Modal. Pengaktifan kembali pasar modal ini juga ditandai dengan go public PT Semen Cibinong sebagai emiten pertama.
1977 - 1987 : Perdagangan di Bursa Efek sangat lesu. Jumlah emiten hingga 1987 baru mencapai 24. Masyarakat lebih memilih instrumen perbankan dibandingkan instrumen Pasar Modal.
1987 : Ditandai dengan hadirnya Paket Desember 1987 (PAKDES 87) yang memberikan kemudahan bagi perusahaan untuk melakukan Penawaran Umum dan investor asing menanamkan modal di Indonesia.
1988 - 1990 : Paket deregulasi dibidang Perbankan dan Pasar Modal diluncurkan. Pintu BEJ terbuka untuk asing. Aktivitas bursa terlihat meningkat.
2 Juni 1988 : Bursa Paralel Indonesia (BPI) mulai beroperasi dan dikelola oleh Persatuan Perdagangan Uang dan Efek (PPUE), sedangkan organisasinya terdiri dari broker dan dealer.
Desember 1988 : Pemerintah mengeluarkan Paket Desember 88 (PAKDES 88) yang memberikan kemudahan perusahaan untuk go public dan beberapa kebijakan lain yang positif bagi pertumbuhan pasar modal.
16 Juni 1989 : Bursa Efek Surabaya (BES) mulai beroperasi dan dikelola oleh Perseroan Terbatas milik swasta yaitu PT Bursa Efek Surabaya.
13 Juli 1992 : Swastanisasi BEJ. BAPEPAM berubah menjadi Badan Pengawas Pasar Modal. Tanggal ini diperingati sebagai HUT BEJ.
22 Mei 1995 : Sistem Otomasi perdagangan di BEJ dilaksanakan dengan sistem computer JATS (Jakarta Automated Trading Systems).
10 November 1995 : Pemerintah mengeluarkan Undang -Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. Undang-Undang ini mulai diberlakukan mulai Januari 1996.
1995 : Bursa Paralel Indonesia merger dengan Bursa Efek Surabaya.
2000 : Sistem Perdagangan Tanpa Warkat (scripless trading) mulai diaplikasikan di pasar modal Indonesia.
2002 : BEJ mulai mengaplikasikan sistem perdagangan jarak jauh (remote trading).
2007 : Penggabungan Bursa Efek Surabaya (BES) ke Bursa Efek Jakarta (BEJ) dan berubah nama menjadi Bursa Efek Indonesia (BEI).






sumber : berbagai sumber

0 komentar: